Minggu yang lalu, saya mengantarkan istri berobat ke dokter. Ini adalah kedua kalinya istri saya berobat ke dokter tersebut dimana jarak (selisih hari) diantara keduanya hanya sekitar seminggu. Sambil menunggu istri saya diperiksa dokter, saya ngobrol dengan suami sang dokter. Dari pembicaraan yang tidak jelas juntrungnya hingga keluhannya tentang tempat praktek sang istri. Beliau curhat tentang adanya rambut dilantai ruangan, dan rambut-rambut tersebut senantiasa mengotori lantai meski telah dibersihkan berulang kali. Pada awalnya saya hanya merespon dengan argumen yang logis bahwa seperti halnya debu, rambut-rambut tersebut mungkin terbang tertiup angin dan masuk ke ruangan apalagi pintu ruangan selalu terbuka.
Beliau tidak puas dengan argumen yang saya sampaikan, beliau beralasan selalu menemukan sekumpulan rambut di ruang yang selalu tertutup dan tanpa ventilasi. Bahkan menurut beliau, rambut-rambut tersebut bercampur dengan benda cair seperti cairan pelitur. Saya belum sempat berpikir panjang ketika putri beliau memanggil dari ruang obat. Saya diajak masuk ke ruang obat dan disuruh membuat penilaian dan memang ruang obat tersebut tidak memiliki ventilasi. Beliau lalu menunjukkan “koleksi” rambut yang telah dikumpulkan selama ini!
Ketika saya sarankan agar beliau bertanya dan minta bantuan orang yang lebih paham, beliau menjawab bahwa langkah tersebut telah ditempuhnya. Ketika saya tanyakan motifnya, beliau menjawab bahwa itu adalah dari persaingan usaha, katanya ada pihak yang menghendaki praktek dokter milik yang dijalankan istrinya tutup! Tidak ada argumen yang dapat saya sampaikan, hanya satu pesan terakhir : tetap ikhtiar, cari orang yang paham dengan hal itu!
*****
Tiga hari sebelumnya, si bungsu Aisyah juga berobat di dokter yang sama dan Alhamdulillah langsung sehat hanya dalam satu kali minum obat. Biasanya tidak sampai obat habispun istri saya telah sehat kembali, namun kali ini lain dari biasanya. Siang itu istri saya mengeluh mual dan badan serta kaki terasa lemas setelah minum obat yang diberikan dokter. Sore harinya istri saya mengelukan kakinya yang terasa dingin….dan sungguh wajahnya pias dan kakinya terasa dingin ketika saya sentuh, layaknya baru sadar dari pengaruh obat bius bekas operasi. Selama sekitar satu jam saya coba mengurut kedua telapak kakinya hingga terasa hangat kembali.
Pada akhirnya di hari ketiga saya harus membawanya kembali berobat ke dokter, kali ini ke dokter perusahaan (tempat saya bekerja). Dahi dr. Ronald mengkerut ketika menyimak obat-obat yang saya tunjukkan. Diagnosanya apa hingga sebanyak ini obatnya? Obat ini semuanya dosis tinggi! Pastinya pertanyaan itu yang tidak dapat saya jawab! Dan sebelum menjadi penyesalan, saya hanya dapat meminta agar istri saya dirawat atau kalau perlu dirujuk ke rumah sakit.
Pertanyaan atau tepatnya rasa curiga muncul di dalam benak. Apakah bu dokter terkena “invasi alien” hingga terjadi salah diagnosa? Kecurigaan ini demikian tinggi karena sebelumnya tidak pernah terjadi yang demikian. Salah diagnosa artinya salah pula obat yang diberikan! Gawat!!
Selama dirawat di ruang observasi istri saya hanya mengkonsumsi obat yang direkomendasi oleh dr. Ronald, sedangkan obat-obatan dari dokter sebelumnya harus disingkirkan. Selama hampir 30 jam istri saya menginap di ruang observasi, wajahnya kini tidak lagi pias dan kakinya tidak lagi “membeku”. Ketika maghrib berlalu dr. Eka mengabarkan bahwa pengujian sample darah hasilnya normal dan tidak ditemukan kelainan, istri saya diijinkan pulang dengan dibekali beberapa butir obat.
Tapi……kok istri saya jadi aneh! Suara yang diucapkan kadang jelas kadang tidak. Kok…. lidah itu tidak mau diam? Apakah pengaruh obat? Ah, rasanya tidak mungkin! Adakah hubungannya dengan invasi alien dan “kiriman” rambut di tempat praktek bu dokter. Ya….saya harus memanggil dokter alternatif yang kebetulan tetangga sendiri. Dan akhirnya…Alhamdulillah, invasi alien tidak berlanjut.
*****
Sekitar dua minggu yang lalu, saya membaca berita tentang rencana anggota dewan yang akan melawat keluar negeri (lagi-lagi) dengan alasan untuk studi banding. Tersiar kabar, salah satu agenda studi banding tersebut adalah untuk mencari resensi yang memadai tentang peraturan hukum (undang-undang) yang berhubungan dengan dunia santet. Begitulah adanya, tersiar kabar pasal santet akan menjadi produk hukum yang akan dicantumkan di dalam KUHP. Tentu saja pasal santet mendapat tanggapan dari para pengamat, bahkan mungkin pembaca adalah satu diantara mereka yang memberikan tanggapan.
Mungkin merupakan hal yang tabu membicarakan santet dalam ranah hukum. Salah satu hal yang membuat santet menjadi tabu untuk dibahas di ranah hukum adalah sulitnya membuktian seseorang telah melakukan tindakan santet tersebut. Celakanya,dimasyarakat issue santet sering kali memakan korban. Seseorang dapat meregang nyawa hanya karena dugaan melakukan praktek santet, sedangkan dugaan itu sendiri sangat sulit untuk dimunculkan pembuktiannya. Disisi yang lain, tidak sedikit masyarakat yang mengalami penderitaan dari praktek santet. Bersarangnya benda-benda aneh didalam tubuh seseorang jelas bukan sebuah cerita baru dimasyarakat (silakan anda cari referensinya).
Santet adalah praktek jahat yang memanfaatkan bantuan jin, demikian pemahaman yang ada di masyarakat (termasuk saya pribadi). Sebagian kalangan menganggap hal tersebut irasional, namun bagi saya pribadi sesungguhnya hal tersebut (santet) adalah hal yang rasional. Kenapa demikian? Karena jin adalah salah satu mahluk yang menghuni bumi seperti halnya manusia. Hanya saja, jin tidak nampak (terlihat) oleh mata manusia. Tidak nampak bukan berarti tidak nyata (ada), karena angin yang bertiup juga tidak nampak oleh mata manusia.
Ketika kita merasakan hembusan angin, maka kita meyakini bahwa angin itu nyata (ada). Maka demikian pula halnya dengan jin. Meski demikian terdapat perbedaan antara jin dan angin, dimana angin senantiasa tunduk (patuh) kepada Allah Sang Maha Pencipta sedangkan jin seperti manusia : ada yang tunduk patuh dan ada pula yang membangkang. Santet adalah kolaborasi dua mahluk pembangkang (jin dan manusia) untuk menimpakan kemalangan kepada mahluk Allah lainnya (korbannya, manusia).
Kolaborasi manusia dan jin telah berlangsung sejak ribuan tahun lalu (silakan rujuk kitab suci : Al-Qur’an) dan masih terus berlangsung hingga saat ini. Sesungguhnya santet (apapun jenis dan bentuknya) adalah praktek yang berbahaya dan pelakunya adalah seorang pengecut! Salah satu bahaya telah saya sebutkan diawal tulisan, pembaca tentu dapat pula mencari resensi lainnya. Sedangkan sifat pengecut pelaku santet sangat tampak dari sikapnya yang tidak ksatria : lempar batu sembunyi tangan.
Diakhir tulisan saya berharap : semoga Allah SWT meneguhkan keimanan kita kepada-Nya.
maaf .... komentar dimoderasi