Barisan kata yang menjadi judul tulisan adalah “plesetan” dari potongan sebuah iklan jadul ketika TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi di negeri ini. Potongan iklan yang dimaksud adalah “……..seindah warna aslinya”, dan merupakan potongan iklan dari sebuah produk fotografi. Dulu ketika masih duduk dibangku sekolah, saya dan kawan-kawan sering pula memplesetkannya menjadi “tak seindah warna aslinya”. Dan penggunaan plesetan tersebut cenderung negatif.
Seseorang yang ucapannya tampak meyakinkan namun ketika di uji ternyata hanya membual, maka secara otomatis kami memberi penilaian “tak seindah warna aslinya” ❗ Penilaian semacam ini kami berikan kepada beberapa mahasiswa ilmu keguruan (IKIP) yang praktek mengajar (sekolah kami bertetangga dengan dua IKIP, negeri dan swasta). Silakan simak dua pengalaman berikut ini.
*****
Seorang mahasiswa berasal dari Jawa Timur (ngakunya dari Surabaya), dan sebut saja Solihin untuk beliau ini. Pembawaanya kalem, supel dan cukup pandai membuat hangat suasana. Hampir setiap pertanyaan yang kami sampaikan, beliau ini mampu memberi jawaban beserta penjelasannya yang tidak membuat kening mengkerut. Beliau mampu pula memberikan alternatif dalam pemecahan masalah ketika kami bertemu dengan masalah yang cukup susah di selesaikan dengan cara biasa. Menurut kami, beliau sangat kompeten dengan dunia pendidikan dan sangat tepat jika berprofesi sebagai guru (semoga lebih dari itu).
Mensikapi profil dan kemampuan yang demikian, maka tanpa ada komando dari siapapun kami selalu bersikap positif terhadap beliau. Setiap diadakan ujian, kami selalu berusaha memberikan meminumalkan kesalahan dalam menjawab setiap pertanyaan. Intinya, kami berusaha memberikan nilai terbaik yang memuaskan bagi tugas prakteknya ❗
Seorang mahasiswa lainnya, berasal dari Jawa Tengah tepatnya berasal dari Jawa Tengah bagian timur agak ke selatan, dan sebut saja Paijo sebagai namanya. Dari sejak awal, beliau ini sudah memancarkan “aura negatif” ❓ bagi kami : pakaian prakteknya jas(?) panjang berwarna putih mirip pakaian para peneliti di laboratorium, menggunakan istilah “lu” untuk menyebut kami dan “gue” untuk menyebut dirinya sendiri. Yang bikin kuping dan hati panas adalah jawaban ketika ditanya : ,” Gue belon tahu tuh!” yang diucapkan dengan logat jawa medhok!! Ketika menjelaskan suatu materi pelajaran-pun bahasanya “tinggi” dan muter-muter…..intelek sepenuhnya 😆
Secara otomatis pula, kami secara sengaja 👿 selalu membuat kesalahan dalam menjawab rangkaian pertanyaan dari materi yang diujikan. Jangankan mendapatkan nilai yang memuaskan, justru target kami adalah membuat beliau mengulang praktek mengajar pada semester mendatang 👿 Padahal jika mau jujur, seluruh materi ujian yang disodorkan (oleh para mahasiswa praktek) kepada kami tidak serumit ujian yang disodorkan oleh guru-guru kami yang sesungguhnya.
*****
Kelas kami memang memiliki kebiasaan aneh : selalu berusaha “menyulitkan” mahasiswa maupun mahasiswi praktek yang banyak tingkah, sok tahu dan sok pintar. Namun sebaliknya, kami akan mendukung mereka (mahasiswa praktek) yang meski banyak tingkah namun berkualitas.
Kami cukup puas ketika Solihin tidak kembali ke sekolah kami pada semester berikutnya. Namun sebaliknya, kami terbahak-bahak ketika Paijo kembali ke sekolah kami untuk praktek mengajar pada adik kelas. “Tak seindah warna aslinya” demikian kami memberi julukan. Meski demikian, jujur saya tidak tahu, apakah adik kelas kami bersikap ramah pada beliau? 😆
*****
sebuah kenangan kelas OTOMOTIF di STEMBAYO
maaf .... komentar dimoderasi